Jumat, 09 Maret 2012

Anakku, Dame Marhasak Galumbang

Jam dinding berdentang 3 kali. Tepat jam tiga subuh. Parlin terlihat mondar-mandir, raut wajahnya diselimuti kegelisahan yang berpadu dengan kecemasan dan kebingungan. Kepalanya mendongak setiap kali pintu itu berderit. Tampak beberapa perawat berpakaian putih-putih berjalan tergopoh-gopoh, dengan senyum yang sepertinya dipaksakan. Sudah sejam lebih dia menunggu proses persalinan istrinya, Marlina. Keringat mulai membasahi wajahnya. Tegang. Sesekali dia berjalan ke arah pintu, namun tak ada yang bisa dilakukan. Suara tangisan bayi dari ruangan bayi tepat sebelah kanan lorong dimana ia berdiri, menambah kegalauan hatinya.
Beribu pertanyaan muncul di benaknya. Bagaimana rupa anaknya yang sebentar lagi akan lahir?, seperti dirinya kah?. Atau barangkali mirip ibunya dengan lesung pipitnya. Atau meyerupai wajah oppungnya, NaiParlin, yang rambutnya keriting tapi hidungnya mancung?. Dia juga mereka-reka kalau anaknya nanti mirip dengan wajah mertuanya laki-laki, wajah kotak khas orang batak dengan tampang yang tegas dan suara menggelegar. Dan banyak wajah menghinggapi benaknya. Sesekali, genggaman tangan kananya beradu dengan telapak tangan kirinya.
Parlin merogoh kantongnya, mencari HP hendak menghubungi seseorang. Berkali-kali dia mencoba menghubungi nomor yang sudah dia hapal betul, namun tak ada jawaban. Hatinya semakin tak menentu.
Dikursi sebelahnya Mbok Inah, pembantu yang sudah setahun ini ikut mereka tertidur pulas. Parlin tahu, kalau pembantunya yang baik hati ini sudah seminggu ini tak bisa tidur dengan tenang. Dengan setia dan cekatan, Mbok Inah, perempuan setengah baya dari Purwokerto ini menemani istrinya, menyiapkan perlengkapan bayi hingga menunggu saat-saat kelahiran putra pertamanya, seperti saat ini.
“Gimana keadaan istri saya, Suster?” ujarnya seraya menuju seorang perawat yang baru keluar dari ruangan bercat putih bersih itu.
“Belum Pak, perkiraan dokter kemungkinan putra bapak akan lahir tiga jam lagi, sabar ya Pak…”
“Iya, iya…boleh saya masuk kedalam, menemani istri saya?”
“Boleh, silahkan, sebaiknya memang begitu” ujar perawat berparas ayu itu tersenyum sambil berlalu.
Parlin segera masuk kedalam ruangan. Dilihatnya marlina terbaring, tampak kuat dan tegar. Seluas senyum tersungging di pipinya. Parlin membalasnya, dan mengecup pipi istrinya. “Bagaimana?” ujarnya seraya mengelus perut Marlina yang semakin membuncit.
“Tunggu saja Pak, nggak apa-apa kok, kata dokter persalinanya normal kok”
“Syukurlah, kita berdoa, yuk”
Marlina hanya mengangguk dan terseyum seraya mengelus wajah Parlin yang sedikit berewokan, dan dia melipat tanganya.
Parlin diam membisu.
“Pa, sudah papa telpon amang dan inang di kampung?”.
“Belum” jawab Parlin pendek.
“Kenapa?”
“E,.e.hmm..”
“Teleponlah Pa, juga omak ya, kasih tahu saja keadaan kita sekarang”.
Marlina memanggil ibu mertuanya dengan sebutan inang sebagaimana lazimnya orang batak. Sementara panggilan pada ibunya sendiri tepat omak. Parlin bingung, lalu menggangguk perlahan. “Mereka akan segera kesini, hasian”, dia berbohong. Dia keluar ruangan bersalin itu dengan melepas pakaian pengunjungnya. Dirogohnya kembali kantong celananya, seraya mengeluarjan HPnya.
* * *
Menjelang sore, gerbang kampus yang semakin menyempit karena aktifitas di kios fotokopy semakin ramai. Hiruk pikuk, bak Pasar Sambu. Malah sudah sama. Ribuan orang lalu lalang dari tempat itu. Tak pernah tidur, mungkin itulah gambaran yang cocok untuk tempat itu.
Marlina tampak gelisah. Pandanganya lurus kedepan, mengarah ke pelataran parkiran kampus yang jauh di depan. Sesekali jemarinya yang lentik memainkan lembaran kertas, mengipas-ipas wajahnya yang merona merah. Dia melempar senyum pada sekelompok penarik becak yang berbaris teratur. Mungkin celotehan mereka bukan keisengan, atau melecehkan. Alasanya, setidaknya beberapa dari mereka adalah langganannya. Hanya bercanda. jadi dia hanya membalas siulan dan sapaan mereka dengan senyum manisnya. Hampir tiap hari Marlina naik becak dari situ, gedung kuliahnya yang tepat berada di pojok ujung, harus ditempuh dengan menggunakan jasa becak.
Akhirnya rasa lega menghinggapi dirinya setelah orang yang ditunggu nongol juga.
“Ada apa? ” tanya Parlin seraya meletakkan bundelan tugas akhir yang baru saja di fotokopinya.
“Bawa aku pergi”
“Bah, bawa aku pergi, baru saja sampai, udah diminta bawa pergi. Bawa kemana?, ini sudah sore, panas dan mungkin sebentar lagi hujan?” kata Parlin cuek, wajahnya menengadah ke atas, tak mengerti maksud perkataan Marlina.
“Aku tidak bercanda, bawa aku pergi” ujar Marlina dengan mimik serius.
“Iya boru ni raja, bawa kemana? pulang? ntar dulu, habisin dulu tuh goreng pisangmu” kata Parlin lagi
“Bukan itu maksudku”
“Jadi?”
“Iya, pilih mana, aku menikah sama orang yang tak kucintai, atau kau mau membawaku pergi jauh?”
“Hught!” Parlin tersedak. Tak menyangka Marlina bicara seperti itu. Tak ada angin, hujan, tiba-tiba ada petir, Marlina memberikan dua pilihan.
“Sadar sayang, sadar hasian” kata Parlin, mencoba bersikap tenang. Dia menatap Marlina lekat-lekat. Tak pernah bosan, sekalipun, Parlin memandangi wajah kekasihnya itu. Dia begitu mengangumi kecantikan Marlina, pun kebaikan hatinya yang menurutnya tak ada duanya. “Ah, cinta mallabab kalipun aku ini”, ujarnya dalam hati
“Apa lihat-lihat” sergah merlina, wajahnya cemberut.
“Nggak, aku cuman berandai-andai”
“Apa”
“Seandainya ada bidadari disini, kamu pasti dibunuhnya”
“Kenapa? apa salahku” tanya Marlina, sedikit cemberut.
“Dia pasti membunuhmu, karena iri akan kecantikanmu hasian, kamu lebih cantik dari bidadari”
“Basi!, nggak lucu” ujar Marlina seraya mencubit pinggang Parlin dengan keras. Parlin berteriak kesakitan, tak menyangka bakal dicubit sedemikian keras. Teriakanya mengagetkan tukang gorengan, yang hanya menggeleng kepala melihat tingkah mereka.
“Gimana?”
“Iya, apanya yang gimana?, ada-ada saja permintaanmu”
“Iya, seseorang akan melamarku bulan depan, anak ni namboru parJakarta itu. Namboru mau datang tepat hari wisudaku bulan depan. Aku tak mau!”
“Yang dulu kamu ceritakan itu?”
“Iya, bulan depan mereka datang, tadi malam saya diberitahu Bapauda di rumah”, Marlina menjelaskan perkaranya. Marlina tinggal di rumah bapaudanya amanTagor di Medan.
“Nggak mungkin kita mangalua, pergi diam-diam, kita harus mempertimbangkan masak-masak, jangan buru-buru, ini menyangkut masa depan kita. Apa kamu mau, hubungan ini pada akhirnya tidak mendapat restu dari orang tua?, mungkin masih ada celah dimana tulang mau menerima hubungan kita ini”, ucap Parlin datar.
“Apa kau pikir masih ada cara?, pikiranku sudah buntu, bingung” ujar Marlina.
Parlin terdiam. Dia ingat ucapan Sanggam, temannya semasa SMA dulu yang sekarang jadi supir Sampri. Beberapa hari yang lalu mereka bertemu ketika Parlin hendak menitipkan surat. Dari kecil mereka sudah berteman, bahkan sering tidur dan belajar bersama. Lelaki yang saban bulan mengunjunginya di tempat kostnya, sebenarnya seorang yang pintar, jika tak bisa dibilang jenius. Bukankah nilai ujian akhir, sembilan, menunjukkan kejeniusan seseoarang?. Nasib dan keadaan ekonomi yang memaksa Sanggam harus selalu berada dibelakang kemudi.
Raut wajah Sanggam terlihat lima tahun lebih tua dari umurnya. Wajahnya yang persegi, kulitnya yang hitam legam dan bicaranya yang meledak, berbeda dengan dirinya, melankonis.
“Masih lanjut hubunganmu dengan paribanku itu?”
“Iya, poreper, kenapa?” Parlin balik bertanya
“Apaan artinya”
“Saleleng au mangolu-selama aku hidup, kenapa sih?”, Parlin bertanya lagi.
“Nggak, kasihan lihat kalian berdua, pacaran seperti ini”
“Iya..banyak yang bilang begitu”, Parlin lalu terdiam. Sanggam memainkan asap rokok kreteknya, seraya mengibas-ibaskan handuk pendeknya. Sesekali dilap keringatnya. Panasnya kota Medan sungguh tak tertahankan, apalagi di siang hari.
“Kau sudah tahu, kalau Marlina akan dilamar anaknya inanguda par Jakarta?”
“Itu hanya kabar burung, gosip ina-ina di onan”, jawab Parlin. Tentunya gossip seperti itu cepat tersiar, Marlina seorang putri dari tokoh masyarakat-happung, dikabarkan akan segera menikah.
“Sepertinya itu benar, dua hari lalu, tulang itu datang ke rumah, membicarakan hubungan mereka, dan minta bapakku untuk membantu mempersiapkannya, kau tau, kami ini kan boru mereka”, ujar Sanggam. Tradisi orang batak, ketika hendak mengadakan hajatan maka boru-pihak yang mempunyai istri dari marga kita-lah yang mengatur segalanya. Berhasilnya satu hajatan, tergantung dari kinerja dan niat boru yang punya hajatan. Sungguh hebat bukan?, sebuah pesta diharapkan berhasil tergantung dari pihak ketiga?.
“Aku tak mau berkomentar, sebelum Marlina yang bicara sendiri” jawab Parlin, seolah menghibur diri, pada hal ada rasa kaget dalam dirinya.
* * *
Mungkin, bukan suatu kebetulan kalau AmaniMarlina dan AmaniParlin pulang kampung sama-sama. Masa kanak-kanak mereka lalui bersama. Kata orang, persahabatan mereka bagaikan rasanya air tawar. Menyatu dan tak hambar. Rasa cinta pada bonapasogit, akhirnya menghantarkan mereka kembali bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Pertemuan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sudah berkeluarga.
Walaupun dengan alasan yang berbeda, toh mereka sudah membulatkan tekad untuk membangun kampung halaman. Bagi amaniParlin, merawat oppuParlin adalah alasan utama kepulangannya. Sebagai anaksasada, dia tak tega membiarkan OppuParlin doli, hidup sendirian.
Cerita punya kisah, kisah punya cerita, perselisihan gareja nabolon di tingkat pusat, ternyata berdampak pada hubungan persahabatan keduanya. OppuParlin sebagai pensiunan penetua, berada di satu pihak dan amaniMarlina yang juga sebagai penetua berada dipihak yang berseberangan.
Jalan terbaik bagi keduanya adalah pisah huria. Satu pagi, satu siang. Cukup adil bukan?. Toh, tak hanya gereja mereka yang seperti itu. Mungkin puluhan, atau barangkali ratusan jemaat terpaksa harus mendirikan gereja baru, bila tak ingin bersama dengan jemaat lain. Atau pindah ke gereja merek lain, kalau melihat wajah lawan yang kalo berpapasan ketika pergantian jadwalpun, dianggap menjijikkan.
Parlin tak habis pikir, jika amaniParlin harus bermusuhan hanya gara-gara persoalan seperti itu. Toh tak ada untung atau ruginya. Dari dulu Parlin sudah mereka-reka, kalau pimpinan yang berselisih itu suatu saat akan berdamai. Mungkin juga akan Marbada na homom, atau marbada dalam damai. Lalu, bagaimana dengan jemaat kecil seperti bapaknya?. Parlin kecil tak menyangka, situasi di sekolah minggu yang dulunya nyaman dan menyenangkan kini tak ada lagi. “Aku harus sekolah minggu gereja pagi, kita tak bisa bersekolah minggu bersama lagi” ujar Marlina.
“Aku tahu, mungkin kita tak kan pernah berteman lagi” jawab Parlin.
Marlina hanya mengangguk.
* * *
Babak baru perselisihan keduanya adalah ketika mereka sama-sama mencalonkan diri jadi kepala desa, yang akhirnya dimenangkan oleh AmaniMarlina. Ibarat air dengan minyak, keduanya semakin tak pernah bertemu. Parlin remaja, tak menyangka kalau perselisihan orang tuanya semakin meruncing.
“Jangan kau dekati boru ni happung itu, aku tak suka” ujar amaniParlin, ketika dilihatnya Marlina berjalan bersamanya, pulang dari sekolah.
Parlin terdiam.
“Heh, kau dengarnya bapak bicara?”
“Pa, apa yang salah dengan pertemanan kami”
“Sekali kubilang tidak, ya, tidak, kau carilah perempuan lain” ujar amaniParlin.
Perselisihan yang semakin tajam ketika memasuki masa-masa pemilu. AmaniParlin ditunjuk seorang caleg menjadi timsukses. Dan ternyata dia tahu, kalau amaniMarlina diam-diam juga menjadi tim sukses.
“Bah, maccam mana negera ini, sebagai seorang pejabat publik, harusnya netral” ujar amaniParlin, bak seorang pengamat politik di tipi-tipi itu, seraya menyerubut kopi panas di hadapanya. OppuMaringanboru, tersenyum dibali k etalasenya. Bukan sekali ini saja amaniParlin mengomel seperti itu. Dia tahu, siapa yang dimaksud.
“Betul itu Amangboru, bisa-bisa uang ka u de kita dipakai buat kampanye” ujar amaniHiltung, seseorang yang sebenarnya tak pernah menabung di ka u de.
“Bah, jangan begitu, nggak boleh berburuk sangka, sitogong hail na be do nuaeng on-pasang umpan masing-masing lah” ujar OppuMaringandoli, bersikap menengahi.
“Bukan begitu Tulang, gini-gini, kita tahu undang-undang.” jawab amaniParlin. Jangan harap, orang kota datang ke desa, omongan mereka akan didengarkan oleh para pengunjung lapo itu. Mungkin mereka, para penikmat obrolan politik ala lapotuak, sudah lebih tahu soal politik ini dari pada pengamat politk sekalipun.
Jam dulu, nongkrong di lapo tuak hanya untuk bahas togel. Berapa angka jitu, teisen, macchau, kode shanghai, hingga kode alam. Bahkan, semua di kode alam-kan. Ke ladang, hutan, ke sawah juga bawa pulpen. Ada orang jatuh atau dapat kecelakaan, bukan ditolong, tapi cari sesuatu yang bisa dijadikan kode alam. Atau barang kali ada yang ke gereja hanya untuk mendapatkan kode togel, berharap penetua ataupun pendeta salah baca nomor buku ende, atau alkitab.
Bedanya saat ini, orang ke lapo hanya untuk bahas politik, pemilu dan caleg. Jaman reformasi, semua orang punya hak untuk berbicara. Bahkan, metode kampanye yang dilakukan oleh para caleg, dinilai tak mumpuni oleh mereka, para penggiat obrolan lapotuak. Hitung-hitungan pembagi suara?, jangan ditanya. Tanpa kalkulatorpun mereka sudah bisa menghitung suara dipemilu dan siapa yang bakal meraih suara terbanyak.
Belum lagi soal kebijakan pemerintah. Semua orang punya pandangan dan pendapat yang mungkin lebih bagus daripada omongan para pengamat politik yang saban hari selalu tayang di televisi.
Hal lain yang lucu tapi aneh, beberapa orang, yang sebenarnya jarang bergereja pun, rumahnya jadi tempat meminta doa dan berkat.
“Kami mau ke rumah dulu lae…” ujar seorang tamu yang membawa sebundel berkas pada amaiJahirlop.
“Ada urusan apa?”
“Sebenarnya, cuma mau minta doa dan restu pada lae, sekalian mengajak lae untuk bergabung dengan kita, membangun kampung kita” ujar seorang lagi penuh teka-teki.
“Bagus itu,..” ujar amaniJahirlop. Merekapun bergegas ke rumah, mau ber-doa ala amaniJahirlop. Mungkin juga mau berhitung, berapa kali berapa hingga mencukupi setengah en tambah satu untuk mencapai blangan pembagi. Tanyalah sama ama-ama yang saban hari nongkrong di lapo, mereka pasti tahu.
“Di kampung ini harus segini lae, perkepala” ujar amaniHumirlop seraya memberikan tanda, tiga jarinya berdiri. Sang tamu sudah mengerti maksud amaniHumirlop. Mengangguk dan tersenyum, lalu mereka pamit pulang. Berdoa selesai!.
Dan banyak lagi yang muncul menjadi seorang pendoa dadakan, dimana doa dan restunya lebih dibutuhkan daripada doa seorang pendeta. Jaman reformasi!.
“Itulah kepala desa pilihan kalian itu, mau dibawa kemana desa ini kalau pemimpinya saja seperti itu”, ujar amani Parlin. Dia mulai mengungkit-ungkit masa pikades beberapa tahun lalu. Semua tinggal cerita bukan?. Pengunjung lapo itu hanya mengangguk kepala seolah paham dan setuju dengan pendapat amaniParlin. Hari menjelang siang, satu persatu pengunjung lapo menghilang. Nanti malam, kembali lagi dengan topik pembahasan yang pasti lebih seru.
* * *
“Pak, … Pak Parlin..” terdengar suara Mbok Inah berkali-kali mencoba membangunkan Parlin. Dia tergagap. Rasa kantuk dan capek karena berjaga selama dua malam berturut-turut mengantarnya tidur pulas. “Ada apa Mbok”
“Tadi dokter memanggil bapak, katanya putra bapak sudah lahir”
“Hah!…Astaga, jam berapa ini? kenapa kamu nggak membangunkan aku dari tadi?” berondongnya, lalu dilihatnya jam tanganya, pukul enam tiga puluh.
“Sudah dari tadi Pak, tapi bapak tidurnya pulas” ujar Mbok Inah. Parlin melompat dari kursi panjang, berlari kearah ruangan persalinan.
Dilihatnya Marlina sudah bangun dan menimang bayi mereka. Parlin memeluk dan mengelus rambut Marlina. “Aku ketiduran, sayang” ujarnya pelan, dia merasa bersalah meninggalkan istrinya sendirian berjuang melahirkan buah hati mereka.
“Nggak apa-apa Pa, aku tahu papa kecapekan, lihatlah bayi kita”
“Iya sayang” ujar Parlin. Matanya tak bergeming dari anaknya, yang tidur disamping Marlina.
“Papa disini sayang, papa akan menjagamu” ujar Parlin, dengan suara bergetar. Mengusap pipi si ucok, anak panggoaranya, nantinya.
“Gimana Pa, apa amang sudah kamu telepon?” Marlina menanyakan sekali lagi
“Sudah, tapi teleponku tak dijawab, ke rumah amang juga sama” jwab Parlin, mengarang jawaban. Amang adalah panggilan sopan seorang menantu pada mertua laki-laki. Panggilan ini juga berlaku umum.
“Ya sudah, nanti Papa telepon lagi, kasih tahu si ucok sudah lahir, gimana juga mereka orang tua kita, kita tak mungkin terus begini. Mungkin sudah saatnya kita harus berani dan bertanggung jawab atas perbuatan kita” ucap Marlina terbata.
“Sudah kupikirkan sayang, nanti kalau kamu dan si Ucok sudah sehat kita akan pulang kampung” ujar Parlin mantap, mengulang kembali janji, atau kalimat yang diucapkanya sebelumnya, sebelum putra mereka lahir.
Toh, semuanya harus dipertanggungjawabkan bukan?. Apapun resikonya, bahwa langkah mereka-mangalua- dua tahun lalu sudah salah. Namun kesalahan seperti itu bisa diperbaiki di kemudian hari. Adat mangalua, pada jaman dahulu adalah lazim diselenggarakan, di mana setelah beberapa bulan pernikahan, kedua mempelai, dengan diantar orang tua laki-laki, berkunjung, manuruk-nuruk, menyembah dan minta maaf atas kelancangan pengantin pria mangarajahon boru mereka dengan mangalua.
Prosesi adat sedemikian telah diaturkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak. Pada akhirnya nanti, perbuatan pajolo holong, papudi uhum, mendahulukan kasih/cinta daripada hukum adat, yang diperbuat anak mereka mendapat restu dari kedua orangtua perempuan.
Parlin masih ingat ucapan AmaniParlin, Amongnya, ketika dia memberitahu kala dia mangaluahon Marlina, ke rumah namborunya di Jakarta, dua hari sesudah mereka wisuda dan seminggu sebelum dia berangkat ke Surabaya. “Bah, kau bawa mangalua borunya simaup itu?, lalu kau paksa aku berbesan dengan dia, tak sudi aku harus minta maaf ke dia itu, manalah harga diriku, kau tanggung sendirilah akibat perbuatanmu. Jauh-jauh hari sudah kubilang, kau jauhi itu perempuan, banyak perempuan lain yang bisa kau nikahi, asal jangan dia, sampai kapanpun aku tak meresuti kalian”
“Tapi Pa..”
“Tidak ada tapi-tapi-nya, durhakalah kau, tak menuruti nasihat orang tua. Tak kau ingat penghinaan keluarga itu ke aku?” nada suara amaniParlin semakin meninggi.
“Bukan begitu itoku, bagaimanapun, anak-anak ini sudah saling mencintai, apa ito masih lebih mementingkan ego ito daripada perasaan amang naposo ini?” ujar NanTarida ikut nimbrung.
“Bukan urusanku, kau juga ito, ikut memperkeruh suasana, tak kau rasakanya perasaan itomu ini?, kau uruslah disitu amangmu itu, banyak dongan tubu disitu yang bisa jadi walinya”, itulah ucapan terakhir dari AmaniParlin.
Sejam lebih mereka bercanda. Mencoba mengingat masa lampau. Lalu membanding-bandingkan wajah si ucok dengan wajah mereka berdua. Banyak hal yang membuat mereka tertawa, dan banyak hal yang membuat mereka berdua terdiam membisu. Hingga larut dalam pikiran masing-masing. Berkali-kali Parlin mengecup kening istrinya. “Aku sudah menjadi ayah”
Marlina hanya mengangguk, dia tahu perasaan dan emosi Parlin saat ini. Dan dia juga bahagia walau dalam hati ada kesedihan yang mendalam. Dipendamnya.
Ketokan pintu membuyarkan candaan mereka. Parlin dengan sigap menyongsong ke arah ketukan tadi. Dia terpana. terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Didepanya berdiri AmaniParlin Ibunya. AmaniParlin tersenyum, dan air matanya menitik. Dibentangkanya tanganya dua-dua. “Kesinilah anakku, ini amongmu, peluklah aku”.
Parlin memeluk erat AmaniParlin, juga ibunya. Bereka bertiga berangkulan, sesenggukan. Terbata, Parlin mengucapkan kata maaf. Hanya itu kalimat yang terucap dari mulutnya. Dengan kasih, NaiParlin mengelus anak buhabajunya, yang sudah dua tahun ini menghilang dari hadapanya.
Keharuan mereka dibuyarkan oleh tepukan tangan di punggung Parlin. Dia menoleh kebelakang. Wajahnya pucat. Tegang. Sosok yang sangat dikenalnya berdiri di belakang dengan senyum lebar. “Anakku..” suara berat laki-laki paruh baya dengan mata berkaca-kaca. “Marilah anakku, datanglah kesini, aku ingin memelukmu erat”
“Eh,..e,…. Tulang…” ujar Parlin terbata.
“Bah, kau panggil tulang lagi samaku?, ucapan maccam mana itu, sudah kau nikahi putriku, kau panggil tulang lagi?, aku ini mertuamu. Marilah helaku hasian, peluklah aku”, rupanya AmaniMarlina juga sudah datang.
Tangis Parlin meledak dalam pelukan amaniMarlina. Dia tak menyangka akan pertemuan dalam kondisi seperti ini. Bingung, kaget, haru dan rasa lain menyesak dalam dada, ketiga apa yang tidak kita harapkan tiba-tiba terjadi. Bercampur aduk menjadi satu rasa bahagia, melihat orang yang dicintai bisa berkumpul bersama. Kado terindah buat putra mereka.
“Adapa sih Pa, ribut-ribut” terdengar suara Malina dari balik tirai penutup tempat tidurnya.
Tergopoh amaniMarlina menuju tempat tidur Marlina yang masih terbaring lemah. Marlina histeris melihat amongnya. Meraung seraya memeluk amaniMarlina. Tak terucap dengan kata, hanya air mata yang berurai membasahi pipi Marlina. Haru biru menghiasi ruangan bercat putih itu. NaiMarlina tak henti-hentinya mencium wajah borupanggoran, Marlina. Air mata ketiganya semakin deras, menyatu. “Sudahlah boruku, hasian, kami sudah cukup bahagia dengan kelahiran pahoppu ini, yang lalu biarlah berlalu. Hugomgom do ho boru hasian, aku mencintaimu putriku tersayang-” ucap amaniMarlina.
AmaniParlin mencoba mengambil jarak dengan sedikit menjauh, memberikan kesempatan pada besannya. Dia tahu apa yang ada dalam perasaan ibu yang melahirkan putri, yang kemudian berpisah lama.
Bagaimanapun perilaku anak, sebagai orang tua dituntut harus bisa lebih bijaksana menyikapinya. Nantarida, namboru Parlin mungkin seorang ibu yang bijaksana dalam menyiakpi persoalan. Tanpa sepengetahuan Parlin, setiap saat dia memberikan kabar kepada ibotonya. Dengan lembut, Nantarida menyampaikan kegalauan hatinya kepada amaniParlin. Janda paruh baya itu sangat tahu apa yang amaniParlin rasakan.
Ternyata, apa yang disampaikan NanTarida berkenan di dalam hati AmaniParlin. Ya, tak ada salahnya orangtua mengalah pada anak. Dengan bujukan NanTaridalah, hati amaniParlin luluh dan mau menjalin hubungan kembali dengan AmaniMarlina.
Apakah ini yang dinamakan kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan?, selagi embun pagi masih turun menghinggapi bumi, selagi hangatnya mentari pagi menyinari bumi, kasih ibu takkan pudar, lapuk dimakan jaman.
“Siapa nama pahompu kami ini Parlin, apa kalian sudah mangaririt nama buat dia?” tanya amaniMarlina
“Belum ada namanya Amang, tapi kami sudah punya calon nama”
“Siapa”
“Marhasak Galumbang”
“Bah..”
“Ha..ha..ha..” tergelaklah tawa amaniParlin dan amaniMarlina.
“Sebaiknya ditambahkan lagi dengan Dame di depan nama itu”
“Boleh amang, nama dari ompungnya”
“Iya, Dame Marhasak Galumbang”
“Iya, iya, saya telah menjadi oppuDame, he..he..he ” timpal amaniParlin seraya merangkul amaniMarlina.
Nama yang cukup indah. Bagi AmaniParlin dan AmaniMarlina, nama itu selalu melekat dalam ingatan dan punya kenangan tersendiri. Keduanya adalah bagian dari tim sukses dari pasangan calon bupati dengan nama kampanye Marhasak dan Galumbang di pilkada tahun lalu. Kedua calon ini bersaing ketat, dengan segala cara untuk mendapatkan suara dan simpati masyarakat. Mulai dari membagi-bagikan amplop yang berisi uang yang dinamakan dengan ingot-ingot, hingga pemberian sembako dan baju.
Bahkan, amaniParlin semakin rajin ke ulaon adat, mandungoi poso-poso na sorang, hingga acara tardidi dan malua. Lalu marlelang disetiap acara penggalangan dana di Gereja. Tak ketinggalan di acara pesta muda-mudi, musik rakyat, organ tunggal, hingga dangdutan. Sawer sana, sawer sini. Ya, semakin sering dia menyebut nama calon, semakin terkenalah calon itu. Pendidikan politik ala kampung-kampung. Demi sebuah suara, para tim sukses ini rela melakukan apapun. Yang jelas, mereka telah dibayar dan dijanjikan sesuatu bila calon yang mereka usung akhirnya menang, dan jadi bupati.
Nanti, sehabis pesta demokrasi, dua program yang pasti dijalankan para gladiator pilkada ini. Yang kalah berpikir bayar hutang, yang menang berpikir untuk secepatnya balik modal.
AmaniParlin dan amaniMarlina sebagai tokoh masyarakat diangkat menjadi ketua tim-sukses yang pada akhirnya, kedua calon ini sama-sama kalah. Pilkada hanya menyisakan aroma permusuhan atau perang dingin diantara tim suksesnya.
“Rasanya lebih pas kata Dame daripada Natal. Walaupun anakku lahir di penghujung Desember”, Parlin membathin. Natal diplesetkan menjadi Natal-u,-yang kalah. Bupati Natal, -Bupati natalu. Biarlah dengan kelahiran cucu mereka ini, segala perselisihan dimasa lampau sirna seketika. Parlin dan Marlina berpandangan, dengan tatapan penuh bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar