Jumat, 27 April 2012

lirik lagu alusi au

Lagu Batak

Tentang : Artis, Pencipta, Musisi, Produser, Penikmat, Syair

Alusi Au

Marragam-ragam do anggo sitta-sitta dihita manisia
Marasing-asing do anggo pangidoan diganup-ganup jolma
Hamoraon hagabeon hasangapon ido di lului na deba
Dinadeba asalma tarbarita goarna tahe
Anggo di au tung asing do sitta-sitta asing pangidoanku
Mansai ambal pe unang pola mangisat, hamu tahe di au
Sasude na nahugoari i da dai saut di au
Sita-sita di au tung asing situtu do tahe
[Reff:]
Tung holong ni roham i sambing do na huparsita – sita
Tung denggan ni basam, lagumi do nahupaima – ima
Asi ni roham ma ito, unang loas au maila
Beha roham,
dok ma hatam,
Alusi au…
Alu… si… au…
Alu… si… au…
Di baheni alu… si… au

Perkawinan Adat Batak Toba

OPINI | 17 June 2011 | 23:30 Dibaca: 3732   Komentar: 16   1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
Perkawinan adat Batak Toba tak bisa dilepaskan dengan simbol-simbol adat, antara lain ulos.
ABSTRACT
In the traditional custom of Batak Toba, every significant event, like marriage, is usually preceded by traditional ritual. There are at least two main reasons of why the ritual is consodered important. Firstly, for the people of Batak Toba marriage is the beginning of a new kinship. Marrriage is not only between two persons, but also between two groups, i.e. boru and hulahula. Secondly, marriage is important because it has also a transcendental meaning. The transcendental meaning is based on the Trinitarian Dalihan Natolu, the three main pilars of marriage: hulahula, boru and dongan sabutuha, which in turn represent Batara Guru, Soripada and Mangalabulan, the embodiments of Debata Mulajadi Nabolon. Marriage is not merely a human affair, but rahter, a cosmic act of perfection by way of revitalization, reorientation, reconciliation and reconfiguration of life, somehow that it forms a new creation. Such belief provides a point of contact which christian theology of marriage. And this fact leads to the importance of theological elaboration concerning the inculturation of the liturgy of marriage within the context of Batak Toba’tradition.
I. PENGANTAR
Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan. Demikianlah keseluruhan rangkaian ritus perkawinan adat Batak-Toba mengiyakan pentingnya peran masyarakat, bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakat. Inilah yang terlihat dari dinamika rangkaian ritus perkawinan adat Batak-Toba, sebagaimana akan diuraikan Tulisan ini.
II. RANGKAIAN RITUS PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA
a) Ritus
Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom; diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan.
Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari “tata cara penyatuan tetap atau permanen” ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal. (Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 116].
Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan:
  1. Unjuk: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa (unjuk);
  2. Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak; dan
  3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak.
b) Fungsi dan Peran
Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Menurut Arnold van Gennep (Arnold van Gennep, hlm. 117-118.), kompleksitas upacara perkawinan dapat dijelaskan dalam 5 (lima) pokok permasalahan: dua jenis yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku, dan tempat tinggal:
The collectivities in question are: the two sex groups, sometimes represented by the ushers and bridesmaids, or by the male relatives on one hand and the female relatives on the other; patrilineal or matrilineal descent groups; the families of each spouse in the usual sense of the word, and sometimes families broadly speaking, including all relatives; groups such as a totem clan, fraternity, age group, community of the faithful, occupational association, or caste to which one or both of the young people, their mothers and fathers, or all their relatives belong; the local group (hamlet, village, quarter of a city, plantation,etc).
Uniknya, dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain kedua mempelai juga dilibatkan seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya, peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: dongan-sabutuha / dongan-tubuhulahula, dan boru.
c) Pertukaran Prestasi

Selain pentingnya inisiasi (masa peralihan) dan peran-peran yang terlibat, perkawinan juga menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal perencanaan pesta perkawinan yang akan dilaksanakan. Peranan dasar aspek ekonomi ini, misalnya, tampak jelas dalam menetapkan jumlah uang, pembayaran, pengembalian pembayaran: harga pengantin (sinamot), pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara perkawinan berlangsung, dst..
Konsep “pembayaran” dalam perkawinan adapt mencakup “pembayaran” oleh pihak pengantin laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini bahkan merupakan bagian utama dari pengesahan perkawinan menurut adat Batak Toba. Bila pertukaran ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadi, maka pengantin pria harus membaktikan diri untuk keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi (Bdk. Kisah Yakub dan Rahel dalam Kej 29:20). Artinya, pengesahan suatu perkawinan mencakup seluruh rangkaian “prestasi” : suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat / tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang.
Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, atau suku tertentu kehilangan anggota-anggotanya yang produktif (laki-laki atau perempuan yang akan menikah), sedikitnya haruslah memperoleh “imbalan” dari pihak yang “mendapatkan” mereka. Dalam upacara perkawinan adapt Batak Toba, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup “uang tebusan”.
“Tebusan-tebusan” ini selalu terjadi pada waktu bersamaan dengan upacara-upacara perpisahan. Harga mempelai wanita, menurut hukum adat, dimiliki oleh anak perempuan; dan kesepakatan itu ditinjau dari makan bersama, saling mengunjungi diantara keluarga-keluarga, pertukaran hadiah-hadiah yang diberikan oleh para kerabat, sahabat, dan tetangga.
III. KEKHASAN PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA
a) Ciri-Ciri
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak-Toba menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak-Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni (1) Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan (2) Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.
Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi mereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.
Hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur. Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus, yaitu pelanggaran sengaja yang dilakukan oleh beberapa pasangan terhadap larangan marsubang (tabu) yang berakhir buruk bagi para pelakunya.
  1. Marsumbang/Marsubang. Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsubang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan adalah marpadanpadan (kumpul kebo).
  2. Marpadan-padan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni bab; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi.” (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu).
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat.
Ritusnya adalah sbb.
  • Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani).
  • Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya.
IV. TAHAPAN PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

13083726461713660519
Perkawinan Adat Batak Toba pada dasarnya sangat dinamis, indah dan penuh makna magis. Namun, di jaman ini ritual semacam ini kerap dinilai berlebihan, rumit dan bertele-tele.
A. Paranakkon Hata:
  1. Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan);
  2. Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-laki pada hari itu juga; dan
  3. Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
B. Marhusip
  1. Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan);
  2. Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya; dan
  3. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.
C. Marhata Sinamot
  1. Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta.
  2. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.
  3. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
D. Marpudun Saut
Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.
Tahapannya sbb.:
  1. Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak Hata, Marhusip, dan marhata sinamot; dan
  2. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Itulah yang dimaksud dengan dipudun saut.
Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru, maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan.setelah bohi ni sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan padalan jambar (pembagian jambar). Dalam mardipudun saut tidak ada pembicaraan tawarmenawar sinamot, karena langsung diberitahukan kepada hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan. Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul oleh simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang. Setelah selesai pembicaraan dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.).
E. Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:
  1. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.[Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan Na Tolu.
  2. Mempersiapkan makanan,
  3. Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo,
  4. Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas),
  5. Doa makan,
  6. Membagikan Jambar,
  7. Marhata adat – yang terdiri dari [1] tanggapan oleh parsinabung ni paranak, [2] dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, [3] Tanggapan parsinabung ni paranak, [4] tanggapan parsinabung ni parboru,
  8. Pasahat sinamot dan todoan,
  9. Mangulosi, dan
  10. Padalan Olopolop.
F. Tangiang Parujungan
Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.
Lusius Sinurat


Sumber:

Lusius Sinurat, Inkulturasi Ritus Perkawinan Adat Batak Toba. Unpar: FF Unpar, 2005.
http://luciusinurat.blogspot.com/2009/12/tahapan-perkawinan-adat-batak-toba.html

Lirik lagu Batak - Sinanggar Tullo - a tullo 16:17 Syukri, S.Sn No comments


Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo

Tu di a ma lu lu an
Da goreng goreng ba hen so ban sa
i tu di a ma lu lu an
Da boru to bing ba hen do ngan
Sinanggar tullo tullo a tullo

Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo
Sinanggar tullo tullo a tullo

Bidang bulung nirimbang
Da bidangan balung ni du lang sa
i pandokonni da i nang
Da ikkondo mar bo ru tu lang
Sinanggar tullo tullo a tullo

Posted by : Run_up. dainangi.blogspot.com
Re Posted by : http://dainangi.blogspot.com/2011/03/lirik-lagu-batak-sinanggar-tullo-atullo.html

lirik lagu butet,sumber liriklagubatak.com

Butet dipangungsian do amangmu ale butet
Da margurilla da mardarurat ale butet
Da margurilla da mardarurat ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
Butet sotung ngol-ngolan ro hamuna ale butet
Pai ma tona manang surat ale butet
Pai ma tona manang surat ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
Butet tibo do mulak au apangmu ale butet
Masunta ingkon saut do talu ale butet
Masunta ingkon saut do talu ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
Butet haru patibu ma magodang ale butet
Asa adong da palang merah ale butet
Da palang merah ni negara ale butet
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge
I doge doge doge (hi) dai doge (hi) doge (hi) doge

MENGENAL ULOS BATAK


Oloan Pardede
[ JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA ]
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Jenis Ulos
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
(Penulis adalah Wartawan, dan Ketua Nahdatul Ulama dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Toba Samosir tinggal di Balige. Aktip sebagai perajin tenun ulos. Artikel ini ditulis, Pebruari 2005)

Upacara Adat Batak Untuk orang Meninggal

eb 9, 2012 - Article, Sosial Network, Toba Lake    Comments Off

Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.
Kriteria kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1. Sebagai Duka (Tilaha); secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya masih hidup, disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya yang meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah berumah tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut ”Tilahaon Matua”
2. Suka Cita; Seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya meninggal mendahului dia.
Menurut sisi pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha, kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati anak muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate ponggol)
b. Meninggal pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-laki disebut “Sarimatua”
c. Meninggal pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai dalam adat disebut “Saur Matur”
d. Meninggal setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak ada diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian anaknya yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung

Adat Kematian Menurut Status

1. Tilaha (umur 0 th – dewasa belum menikah) kematian seperti ini tidak begitu ketat tuntutan adatnya. Yang berduka adalah keluarga dan tulangnya yang meninggal. Dalam pemberian saput, tulangnya merobek kain sarung sebagai saput. Dahulu, perlakuan ini dilakukan oleh tulangnya kepada berenya yang meninggal sebelum berumah tangga.
2. Tompas Tataring/Mate Ponggol., sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang berduka adalah orang tuanya, tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya sangat sederhana, Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput adalah hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah tulangnya, sedangkan yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri yang meninggal. Pelaksanaan adatnya tidak begitu ketat terutama dalam pemberian piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai pemberitahuan resmi kepada hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah berkurang. Diberikan pada waktu buka tujung.
3. Sari Matua. Orang yang meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian sudah menikah, atau sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi seperti ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat menuntut adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat terakhir dalam sejarah kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada hula-hula parumaennya, merupakan tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah meninggal.
Pada pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan konsep ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak alot, terutama apabila konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat semua anaknya sudah berkeluarga. Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih dikenakan Tujung.
Ada sebagian orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok, dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda “Sappe Tua”.
Hati-hati peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah laki-laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan member ulos passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya. Jadi kita sebagai generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan adat.
Ironisnya usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan supaya “jaga ulaon I”(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule, hukumnya atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang meninggal, kawin sama boru tulangnya, yang memberikan “ulos Sappe Tua” tadi. Pantas kah tulangnya tidak memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah tulangnya sebagai hula-hula memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya yang meninggal. Kalau raja adat, dan hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu, maka jadilah Raja Adat “si mata hepengon”, Hula-hula oleh berenya, menjadi “tulang sattabi hita on” Maka “moral” raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.
4. Saur Matua. Orang yang meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai dalam adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pelaksanaan adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya adalah dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari anak-anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat seperti ini jarang tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan kebanggaan satu ompung.
Demikian juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka “HOMBUNG” dalam adat Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut “LOMBA” yang menurut aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya adalah 6. Angka ini dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi adalah “SARUMARNAEK”, yang kedua adalah “SANDUDUK” yang lain…………(penulis lupa). Bagi yang menjanda atau menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe tua.
5. Mauli Bulung. Seseorang yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai dalam adat dan bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak perempuan, dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup (memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung, maupun pihak hula-hula dan tulang.
Pada adat kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar “LOMBA” juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi “Ulos Tujung” tetapi “Sampe Tua” Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba dengan angka agak ketat
Catatan:
1. Istilah “LOMBA” umumnya di daerah Humbang Hasundutan, sedangkan di lain daerah disebut “HOMBUNG”
2. Aturan pembagian besarnya “ lomba“ kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau perempuan yang meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat setengah
3. Seorang yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup (Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi orang lain terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan manortor untuk menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal pengertian pemberian “sappe tua” perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi “nilangka to jolo, tinailihon tu pudi” pemberian ulos “sappe tua” sering berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga. Sejalan dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang anaknya yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si duda atau si janda tidak akan bisa menerima ulos “pansamot” dan inilah yang juga perlu dipikirkan oleh hula-hula dan tulang. Kalau kemudian sianak manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau boru tulang dari ompungnya. Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan ulos “pansamot” kepada ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat dari sisi umur maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya tidak akan berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon hula-hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.
Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.
1. Keluarga berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang akan dilaksanakan.
2. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai fungsi untuk menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan kepada pihak tulang dan hula-hula serta kepada tetaua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung, undangan disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula anak manjae serta tulang rorobot/narobot.
3. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan tulang serta tulang rorobot.
4. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud dan tujuan undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan
5. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta, tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal, maka pada hari yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati tadi. Parrapoton.
Bagi sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat pembukaan pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu.
Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai dan keluarga yang kemalangan; “Au na di patua di adat di ……….(huta ….atau di parserahan…….) on, na margoar ……… marga ….., goar maroppuni, Oppu ……….marga ……..Manguluhon parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.”
Di perantauan, yang memimpin parrapoton belum tentu raja adat Huta dari mana keluarga kemalangan berasal. Tetapi raja adat dari hula-hula atau tulang. Hula-hula apabila yang meninggal adalah ibu, sedangkan tulang, apabila yang meninggal adalah bapak.
Pada saat parrapoton; Hasuhuton, menyediakan piring berisi beras serta uang beberapa lembar sesuai kehadiran hula-hula
1. Hula-hula atau tulang bertanya kepada hasuhuton di depan hkalayak tentang keturunan yang meninggal, apakah sudah sanggup dan pantas melakukan adat sesuai dengan konsep yang mereka terima atau masih ada yang mengganjal.
2. Kemudian menanyakan kepada khalayak tentang Kepatutan dan kepantasan adat yang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.
3. Menanyakan kepada khalayak, semasa hidupnya almarhum/almarhumah, apakah ada persoalan-persoalan tertulis atau lisan/hutang piutang dan lain-lain yang belum selesai. Setelah tidak ada komplain dari khalayak, terutama pihak hula-hula maka, konsep adat oleh raja adat dalam hal ini dari pihak hula-hula, dapat dilaksanakan dengan mengetuk piring tiga kali yang berisi beras dan uang. Apabila terdapat persoalan menurut kebiasaan setempat dan persoalan surat menyurat yang belum tuntas, maka hula-hula memohon kepada hasuhuton untuk menyelesaikannya, atau menyesuaikan adat sesuai dengan kebiasaan setempat.
Setelah diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang yang diatas piring tadi kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula namarhaha anggi, hula-hula anak majae, tulang rorobot. Yang terakhir kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas piring, di taburkan ke kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara berurutan dan penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan adat sah untuk dilaksanakan.
Adat saur matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan “tu dolok na timbo, di atas ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni hariara, na marurat tu toru marbulung tu ginjang, mardakka tu lambung” Dan perlakuan adat disini, hasuhuton menebar uang kepada halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok) Ulaon na gok di namonding.
Telah kita bahas mengenai tingkat adat dalam kematian, Toppas Tataring dan Sari Matua, dapat dilaksanakan adat na Gok. Tetapi perlakuannya tidak seperti adat di Saur Matua atau Mauli Bulung. Adat Selatan atau Sipirok hampir ada kesamaannya dengan perlakuan adat Na Gok di Hubbang, utamanya Pakkat Sekitar dan Parlilitan.
Hal ini ditandai dengan pemberian Lomba kepada hula-hula atau tulang. Biasanya, kalau yang ditinggalkan yang meninggal anak laki-laki. Kata orang-orang tua dulu, “dao ma anak na nidondonan ni Lomba” karena adat yang meninggal belum selesai kepada hula-hula atau tulang, maka hal itu tetap menjadi hutang adat bagi si anak yang di tinggal.
Jika kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki “Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon” ingin berbuat yang baik kepada orang tuanya, atau pesta adat yang lain, maka tidak ada lagi penghalang. Hula-hula atau tulang tidak menuntut hutang adat dari orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.
Bagi kepercayaan orang tua dulu, seorang anak yang di dondoni lomba akan mendapat masalah dalam kehidupannya(cekak) Soal perlakuan adatnya, sudah sama dengan apa yang biasa kita lihat setiap adat kematian.
Di dalam acara sari matua diberengi dengan adanya tilahaon matua, walaupun adat na gok, di dalam acara adatnya jangan sekali-kali padenggal tangan dan membunyikan musik untuk menyambut kedatangan hula-hula.
Pada umumnya, orang batak agak berpikir tiga kali untuk melaksanakan ulaon yang besar dalam adat kematian, yang mana orang tua yang meninggal masih hidup. Karena apabila orang tua yang meninggal kelak, maka ulaon adat kematian terhadap orang tua yang tilahaon matua tadi, akan jauh lebih besar. Karena aturan perlakuan adat sihabatakon dalam kontek tilahaon matua, adalah suatu hal yang memalukan bagi keluarga kalau lebih besar ulaon kematian anak dari pada adat kematian kemudian yang tilahaon matua.
Mengenati pembicaraan adat dalam adat kematian, tidak seperti pembicaraan di ulao adat perkawinan. Pembicaraan dialog (two way communication) hanya terjadi pada “Tonggo raja”. Dialog di sini hanyalah untuk menyamakan persepsi antara hula-hula dengan hasuhuton, tentang konsep adat yang akan di laksanakan. Selanjutnya yang terjadi adalah monolog (one way communication), pada “hata huhuasi, hata nauli sian namarholong ni roha, hata nauli sian horong ni hula-hula, dohot hata pangappuon.(br14).
dikutip dari: http://www.pakkatnews.com/pemahaman-tata-aturan-adat-kematian.html

Apr 2, 2011 - Article Comments Off ATURAN ADAT ISTIADAT BATAK Patokan dan Aturan Adat (Ruhut–ruhut Paradaton) Patokan dan aturan adat adalah acuan atau cerminan untuk melaksanakan adat didalam sukacita maupun dukacita yang pelaksanaannya harus didasarkan pada falsafah “ DALIHAN NATOLU “ serta memperhatikan nasihat nenek moyang ( Poda Ni Ompunta) * Jolo diseat hata asa diseat raut ( di bicarakan sebelum dilaksanakan) * Sidapot solup do na ro (mengikuti adat suhut setempat) * Aek Godang tu aek laut, dos ni roha nasaut (Musyawarah mufakat ). Pasal 1 1. Pada acara pesta perkawinan yang mutlak (mortohonan) suhi ni ampang ñaopat : a. Pihak paranak (pengantin lelaki) yang terima ulos : 1. Ulos Pansamot : Orang tua pengantin 2. Ulos Paramaan : Abang / adik Orangtua Pengantin 3. Ulos Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin 4. Ulos Sihunti Ampang : Saudara (Ito) atau Namboru Pengantin b. Pihak Parboru (pengantin perempuan) yang terima sinamot : 1. Sijalo Bara / Paramai : Abang / adik pengantin 2. Sijalo Upa Tulang : Tulang pengantin 3. Sijalo Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin atau Simandokhon Ito pengantin *(sesuai Hasuhuton&Tonggo Raja). 4. Sijalo Upa Pariban : Kakak atau Namboru Pengantin c. Urutan Pelaksanaan: 1. Ulos Hela diberikan setelah Ulos Pansamot. 2. Sijalo Paramai diberikan setelah sinamot nagok diterima Suhut Parboru. 2. Pada acara Adat Perkawinan yang harus diperhatikan : a. Tintin marangkup diberikan kepada Tulang Pengantin pria, bila perkawinan dengan Pariban Kandung (Boru Tulang), tidak ada Tintin Marangkup. b. Jumlah Tintin Marangkup, sesuai kesepakatan demikian Panandaion bila ada. c. Ulos yang diturunkan (tambahan) tidak boleh melebihi tanggungan Parboro. d. Uang Pinggan Panungpunan, disesuaikan dengan besarnya Sinamot. e. Undangan pada acara adat Boru Sihombing atau Bere Sihombing, suhu – suhu Ompu yang menerima Sinamot / Tintin Marangkup / Upa Tulang , wajib memberikan ulos Herbang, selain yang memberi ulos Herbang, boleh memberi uang (pembeli ulos). Pasal 2 Pada Acara Adat Kematian (meniggal dunia), ulos yang berjalan dan acara sesuai tingkat kematian : 1. Meninggalnya dari usia anak-anak sampai usia berkeluarga : a. Anak-anak dan Boru Sihombing remaja : Lampin atau Saput dari orangtua. b. Remaja / Pemuda Sihombing : Saput dari Tulang-nya. c. Kembali dari makan tidak ada acara adat lagi. 2. Meninggal Suami / Isteri : a. Tingkat kematian ditetapkan dalam Parrapoton / Tonggo Raja. b. Ulos Saput / Tutup Batang Suami dari Tulang-nya, Ulos Tujung/ Sampetua Istri dari Hula – hula. c. Ulos Saput / Tutup Batang Istri dari Hula – hula, Ulos Tujung/ Sampetua Suami dari Tulangnya. d. Urutan pelaksanaan : Saput lebih dulu baruTujung (berubah sesuai kondisi). e. Tingkat kematian Sarimatua, kembali dari makam ada Acara Buka Tujung, bagi yang masih menerima Tujung. f. Tingkat kematian Saurmatua, kembali dari makam ada Acara Buka Hombung. g. Suami meninggal, Tulang-nya Siungkap Hombung; Istri meninggal, Hula-hulanya. Pasal 3 Parjambaran Pada setiap Acara Adat Pesta Perkawinan dan kematian berjalan Parjambaran, pada dasarnya sebelum pelaksanaan harus dibicarakan lebih dahulu : 1. PARJAMBARAN DI ACARA ADAT PESTA PERKAWINAN, PANJUHUTI-NYA PINAHAN / SIGAGAT DUHUT. a. Mengkawinkan anak laki – laki : - Bila adatnya alap jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro - Bila adatnya Taruhon Jual : Osang utuh diparanak, untuk diberikan kepada hula-hula (Sijalo Tintin Marangkup), ihur-ihur (Upa Suhut) diparanak dan diberikan Ulak Tando Parboru, Somba – somba dan soit dibagi dua dan parngingian (kiri) di Paranak : (1). Somba – somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot. (2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale-ale, Dongan Sahuta, dll. (3). Parngingian / Parsanggulan untuk Boru / Bere. (4). Ikan (dengke) dari Parboru untuk Hasuhuton. b. Mengawinkan anak Perempuan : - Bila adatnya Taruhon Jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro. - Bila adatnya Taruhon Jual : Osang Utuh di Parboru untuk diberikan ke Hula-hula dan Tulang Rorobot. Ihur – ihur (Upa Suhut) di Parboru untuk Hasuhuton Somba – somba dan Soit dibagi dua dan parngingian(kanan) di Parboru : (1). Somba –somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot. (2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale – ale, Dongan Sahuta, dll. (3). Parsanggulan / Parngingian untuk Boru / Bere. 2. PARJAMBARAN DI ACARA KEMATIAN SARI / SAURMATUA, BOAN SIGAGAT DUHUT (Contoh) : Ulaon : Borsak Simonggur. Hasuhuton : Hutagurgur. Bona ni Hasuhutin : Tuan Hinalang. Suhut Bolon : Datu Parulas. A. DONGASABUTUHA 1. Panambuli : Anggi Doli Hariara. 2. Pangalapa / Pamultak : Raung Nabolon. 3. Panambak / Sasap : Dongan Tobu. 4. Ihur – ihur / Upa Suhut : Datu Parulas. 5. Uluna / Sipitudai : Jambar Raja (Parsadaan dan Punguan) Orang biasanya diberikan ke Protokol dan Sitoho-toho. 6. Ungkapan : Haha Doli Suhut Bolon. 7. Gonting : Anggi Doli Suhut Bolon. B. BORU / BERE / IBEBERE 1 . Tanggalan Rungkung Partogi : Boru ni Prsadaan. 2. Tanggalan Rungkung Mangihut : Boru ni Punguan. 3. Tanggalan Rungkung Bona – bona : Boru Diampuan/Bere – Ibebere. C. HULA – HULA 1. Tulan Bona : Pangalapan Boru/Hula-hula Tangkas. 2. Tulan Tombuk : Namamupus/Tulang. 3. Somba – somba Siranga : Tulang Rorobot, Bona Tulang, Bona Hula. Somba – somba Nagok :Bona na ari. 4. Tulan :P arsiat (Hula-hula, Haha Anggi, & Anak Manjae) D. DONGAN SAHUTA / RAJA NARO. 1. Botohon : Sipukkha Huta/Dongan Sahuta. 2. Ronsangan : Pemerintah setempat. 3. Soit Nagodang : Paariban, Ale-ale, Pangula ni Huria, Partungkoan. 4. Bonian Tondi : Pangalualuan ni Nipi (teman curhat). 5. Sitoho-toho : Surung-surung ni namanggohi adat (orang yang sering datang). 6. Pohu : Penggenapi isi tandok Hula-hula 7. Sohe/Tanggo : Penggenapi jambar yang belum dapat, dan lain-lain. 3. PENJELASAN BENTUK DAN LETAK PARJAMBARAN A. NAMARMIAK-MIAK (PINAHAN LOBU) 1. Osang-osang : rahang bawah 2. Parngingian : kepala bagian atas 3. Haliang : leher 4. Somba-somba : rusuk 5. Soit : persendian 6. Ihur-ihur/Upa Suhut : bagian belakang sampai ekor Parjambaran Namarmiak – miak di Humbang (Oleh : Ompu Natasya L. Toruan ) Na marmiak-miak B. SIGAGAT DUHUT 1. Uluna/Sipitu dai : kepala atas dan bawah (tanduk namarngingi dan osang) 2. Panamboli : potongan leher (sambolan) 3. Pangalapa/Pultahan : perut bagian bawah (tempat belah) 4. Panambak/Sasap : pangkal paha depan 5. Ungkapan : pangkal rusuk depan 6. Gonting : pinggul/punggul 7. Upa Suhut / Ihur-ihur : bagian belakang sampai ekor 8. Tanggalan Rungkung : leher (depan sampai dengan badan) 9. Tulan Bona : paha belakang 10. Tulan Tombuk : pangkal paha belakang 11. Somaba-somba Siranga : rusuk-rusuk besar 12. Somaba-somba Nagok : rusuk paling depan (gelapang) 13. Tulan : kaki di bawah dengkul 14. Botohon : paha depan 15. Ronsangan : tulang dada ( pertemuan rusuk) 16. Soit Nagodang : persendian 17. Bonian Tondi : pangkal rusuk iga 18. Sitoho-toho : sebagian dari osang bawah 19. Pohu : bagian-bagian kecil 20. Sohe/Tanggo-tanggo : cincangan Parjambaran Sigagat Duhut di Humbang ( Oleh Drs. Togap L. Toruan) Si gagat duhut Pasal 4 MANGADATI Mangadati adalah pelaksanaan ”menerima.membayar” adat perkawinan (marunjuk) yang telah menerima pemberkatan nikah sebelumnya, dimana kedua belah pihak orangtua sepakat, adatnya dilaksanakan kemudian dan atau kawin lari (mangalua) dimana acara ini dilaksanakan pihak pengantin laki-laki ( Paranak). Karena itu ”mangadati” tidak sama dan bukanlah manjalo sulang-sulang ni pohompu. A. Tahapan yang harus dipenuhi sebelum Mangadati : 1. Pada acara partangiangan (pengucapan syukur) pemberkatan nikah, Paranak wajib mengantar ”Ihur-ihur” kepada pihak pengantin perempuan (Parboru) sebagai bukti bahwa putrinya telah di-paraja (dijadikan istri). 2. Pihak paranak melakukan acara manuruk-nuruk (suruk-suruk) meminta maaf dengan membawa makanan adat kepada pihak Parboru(hula-hula). 3. Pihak Paranak melakukan pemberitahuan rencana ”mangadati” kepada pihak Parboru, dengan membawa makan adat. Acara ini merancang (mangarangrangi) ”Somba ni uhum: (sinamot), ulos herbang, dan yang berkaitan dengan mangadati. B. Acara ”mangadati” dilaksanakan di tempat pihak Paranak, sehinga pelaksanaan sama dengan pesta adat ”taruhon jual”, yakni pihak Parboru datang dalam rombongan membawa beras, ikan, dan ulos. C. Parjambaran: ”Sidapotsolup do naro” ‘ Pasal 5 MENDAMPINGI, MANGAMAI, MANGAIN Pengertian umum adalah suatu proses untuk perkawinan campuran antara anaka / boru dengan anak/boru suku/bangsa lain (Marga Sileban), dimana pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan adat Batak. Penerapannya dilakukan sesuai tahapan dan aturan masing-masing sebagai berikut : MENDAMPINGI. Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak, Marga Sileban cukup meminta kepada satu keluarga Sihombing yang mau mendampingi dengan fungsi sebagai wakil/juru bicara/Raja parhata, dengan demikian : 1. Mendampingi Parboru, Sijalo Sinabot harus Marga Sileban, yang mendampingi hanya menerima uang kehormatan saja. 2. Mendampingi Paranak, Sijalo Ulos Suhi ni Ampang Naopat harus keluarga suku lain (Marga Sileban), yang mendampingi hanya menerima Ulos Pargomgom. 3. Yang mendampingi tidak boleh melakukan Tonggo / Ria Raja dan Papungu Tumpak. MANGAMAI . Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan na marmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangamai dihadapan Dongan Tubu, Boru/Bere, Dongan Sahuta. Dengan restu hadirin, yang Mangamai mangupa dengan menyatakan kesediaan untuk melaksanakan tahapan adat perkawinan yang dimaksud pihak Marga Sileban, kemudian Marga Sileban memberikan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua hadirin. Sehingga yang diamai dengan yang Mengamai sudah menjadi Dongan Sahundulan yang sifatnya permanen. Dalam hal Mangamai Paranak, yang menerima ulos diatur sebagai berikut : Ulos Pansamot : Orangtua kandung Marga Sileban. Ulos Paramaan : Yang Mangamai. Ulos Todoan : Marga Sileban atau keluaga yang Mengamai. Ulos Sihunti Ampang : Boru yang Mengamau atau Marga Sileban. Ulos seterusnya diatur pembagiannya sesuai dengan kesepakatan. Tintin Marangkup tetap harus diberikan ke Tulang pengantin pria Marga Sileban. Dalam hal Mangamai Parboru, yang menerima Sinamot/tuhor diatur sebagai berikut : Sinamot nagok : Orangtua kandung Marga Sileban. Paramai : yang Mengamai. Todoan : Marga Sileban atau yang Mengamai. Pariban : Boru yang Mengamai atau Boru Marga Sileban. Upa Tulang harus diberikan kepada Tulang pengantin wanita Marga Sileban. Panandaion/Sipalas roha diatur pembagiaanya sesuai kesepakatan. MANGAIN. Marga Sileban yang berkehendak anaknya (wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak(pria) Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan namarmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangain dihadapan Dongan Tubu,Boru/bere, Hula-hula/Tulang, Dongan Sahuta. Tahapan Pelaksanaan: 1. Marga Sileban atau pendampinganya menyerahkan tudu-tudu sipanganon. 2. Marga Sileban menyerahkan putrinya kepada yang Mangain. 3. Yang Mangain, marmeme dan manghopol dengan Ulos Mangain. 4. Hula – hula yang Mangain (Tulangna) memberikan ulos parompa. 5. Marsipanganon. 6. Hata Sigabe-gabe. Yang Mangain akan menempatkan yang diain pada urutan anggota keluarga yang tidak mengubah Panggoran (buha baju) yang sudah ada. Selanjutnya, keluarga yang Mangain bertanggung jawab melaksanakan kewajiban adat Batak kepada yang diain. Pada acara perkawinan yang diain, yang menerima Sinamot Nagok dan Suhi ni Ampang Naopat adalah yang Mangain dan keluarga. Orangtua kandung marga Sileban menerima Sinamot(panandaion) sebagai penghargaan atau penghormatan. Pada dasarnya kedudukan Anak atau Boru yang Didampingi, Diamai, Diain, tidak sama, dan tidak punya kaitan apapun dengan ”pewarisan”. Masing masing hanya terbatas pada proses adat yang dilakukan. Pasal 6 MANGANGKAT /MANGADOPSI Suatu proses seorang anak (pria atau wanita) masuk dalam keluarga menjadi anak/boru, baik karena belum mempunyai keturunan maupun karena suatu hal. 1. Meminta persetujuan Haha/Anggi dan Ito, serta Hulua-hula(sekandung). 2. Mengurus kelengkapan dari catatan sipil. 3. Mengurus babtisan dari gereja. 4. Melakukan pengukuhan secara adat dihadapan : - Dongan Tubu - Hula – hula dan Tulang - Boru / Bere - Dongan Sahuta - Raja Bius (Parsadaan dan Punguan) 5. Untuk acara pengukuhan Boru (putri) oleh namarmiak-miak, tetapi untuk pengukuhan anak (putra) sebaiknya sigagat duhut, karena kehadirannya. Selain pewaris juga akan menjadi penerus keturunan. Tahapan pelaksanaan : 1. Penjelasan tentang tata cara. 2. Pasahat tudu-tudu sipanganon 3. Hula-hula dan Tulang mangupa / marmeme dan memberi Ulos Parompa 4. Marsipanganon 5. Yang Mangangkat menyerahkan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua undangan (Upa Raja Natinonggo). 6. Pasahat Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada hadirin. 7. Hata Sigabe-gabe. Pasal 7 ULOS HERBANG Ulaos Herbang untuk diberikan ke pihak Paranak pada acara perkawinan Boru Sihombing banyaknya 17 (tujuh belas) lembar, bila ada tambahan/titilan Paranak, tidak boleh lebih dari yang disediakan Sihombing dan Ulos Herbang yang akan diterima pada acara perkawinan anak (putra) Sihombing Banyaknya tidak dibatasi. Dalam menentukan banyaknya Ulos Herbang, hendaknya tetap memperhitungkan waktu penyerahan. Pasal 8 CATATAN/PERHATIAN 1. Pada setiap acara adat pesta perkawinan dan kematian yang berhak menerima dan memberikan adat aníllala anggota yang sudah diadati (beradat). 2. Pada kejadian dukacita (mate) di mana statusnya Sarimatua atau Saurmatua, bila bonannya Sigagat Duhut, tidak boleh lagi dijalankan teken tes. 3. Acara Patua Hata dan Pargusipon, dapat dilaksanakan oleh tingkat Suhu Ompu, tetapi Acara Tonggo Raja/Rai Raja harus sampai tingkat Borsak Sirumonggur. 4. Pesta adat (unjuk) yang oleh karena keterbatasan, hendaknya tetap ulaon Borsak Sirumonggur, karena hanya menambah lebih 5 (lima) undangan. Misalnya mengundang paling sedikit seorang dari masing-masing : Haha Doli Hutagurgur, Anggi Doli Hariara, Raja parhata, Pengurus Parsadaan Borsak Sirumonggur. Pasal 9 PENUTUP 1. Patokan dan aturan adat ini dalam penerapannya tidak boleh menjadi beban pikiran dan menimbulkan kerugian Suhut Bolon. 2. Hal-hal yang berjalan di luar Patokan dan Aturan adat ini,harus dicatat menjadi dokumen Pengurus Pusat dan dilaporkan tertulis ke Dewan Pembina. 3. Patokan dan Aturan adat yang Belum tertuang, akan ditetapkan oleh Pengurus Pusat, setelah disetujui oleh Dewan Pembina. Disempurnakan Dan ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 23 September 2002 DEWAN PEMBINA BORSAK SIRUMONGGUR JAKARTA & SEKITARNYA Ketua Sekretaris TTD TTD St. Drs. Togap Lumbantoruan Drs. Ronald Marudin Sihombing Disalin sesuai dengan aslinya, 12 Juni 2005 Sekretaris Jenderal Parsadaan Borsak Sirumonggur P.L. Toruan

Apr 2, 2011 - Article    Comments Off
 
Patokan dan Aturan Adat
(Ruhut–ruhut Paradaton)
Patokan dan aturan adat adalah acuan atau cerminan untuk melaksanakan adat didalam sukacita maupun dukacita yang pelaksanaannya harus didasarkan pada falsafah “ DALIHAN NATOLU “ serta memperhatikan nasihat nenek moyang ( Poda Ni Ompunta)
* Jolo diseat hata asa diseat raut ( di bicarakan sebelum dilaksanakan)
* Sidapot solup do na ro (mengikuti adat suhut setempat)
* Aek Godang tu aek laut, dos ni roha nasaut (Musyawarah mufakat ).
Pasal 1
1. Pada acara pesta perkawinan yang mutlak (mortohonan) suhi ni ampang ñaopat :
a. Pihak paranak (pengantin lelaki) yang terima ulos :
1. Ulos Pansamot : Orang tua pengantin
2. Ulos Paramaan : Abang / adik Orangtua Pengantin
3. Ulos Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin
4. Ulos Sihunti Ampang : Saudara (Ito) atau Namboru Pengantin
b. Pihak Parboru (pengantin perempuan) yang terima sinamot :
1. Sijalo Bara / Paramai : Abang / adik pengantin
2. Sijalo Upa Tulang : Tulang pengantin
3. Sijalo Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin atau
Simandokhon Ito pengantin *(sesuai Hasuhuton&Tonggo Raja).
4. Sijalo Upa Pariban : Kakak atau Namboru Pengantin
c. Urutan Pelaksanaan:
1. Ulos Hela diberikan setelah Ulos Pansamot.
2. Sijalo Paramai diberikan setelah sinamot nagok diterima Suhut Parboru.
2. Pada acara Adat Perkawinan yang harus diperhatikan :
a. Tintin marangkup diberikan kepada Tulang Pengantin pria, bila perkawinan dengan
Pariban Kandung (Boru Tulang), tidak ada Tintin Marangkup.
b. Jumlah Tintin Marangkup, sesuai kesepakatan demikian Panandaion bila ada.
c. Ulos yang diturunkan (tambahan) tidak boleh melebihi tanggungan Parboro.
d. Uang Pinggan Panungpunan, disesuaikan dengan besarnya Sinamot.
e. Undangan pada acara adat Boru Sihombing atau Bere Sihombing, suhu – suhu Ompu yang menerima Sinamot / Tintin Marangkup / Upa Tulang , wajib memberikan ulos Herbang, selain yang memberi ulos Herbang, boleh memberi uang (pembeli ulos).
Pasal 2
Pada Acara Adat Kematian (meniggal dunia), ulos yang berjalan dan acara sesuai tingkat kematian :
1. Meninggalnya dari usia anak-anak sampai usia berkeluarga :
a. Anak-anak dan Boru Sihombing remaja : Lampin atau Saput dari orangtua.
b. Remaja / Pemuda Sihombing : Saput dari Tulang-nya.
c. Kembali dari makan tidak ada acara adat lagi.
2. Meninggal Suami / Isteri :
a. Tingkat kematian ditetapkan dalam Parrapoton / Tonggo Raja.
b. Ulos Saput / Tutup Batang Suami dari Tulang-nya, Ulos Tujung/ Sampetua Istri dari Hula – hula.
c. Ulos Saput / Tutup Batang Istri dari Hula – hula, Ulos Tujung/ Sampetua Suami dari Tulangnya.
d. Urutan pelaksanaan : Saput lebih dulu baruTujung (berubah sesuai kondisi).
e. Tingkat kematian Sarimatua, kembali dari makam ada Acara Buka Tujung, bagi yang masih menerima Tujung.
f. Tingkat kematian Saurmatua, kembali dari makam ada Acara Buka Hombung.
g. Suami meninggal, Tulang-nya Siungkap Hombung; Istri meninggal, Hula-hulanya.
Pasal 3
Parjambaran
Pada setiap Acara Adat Pesta Perkawinan dan kematian berjalan Parjambaran, pada
dasarnya sebelum pelaksanaan harus dibicarakan lebih dahulu :
1. PARJAMBARAN DI ACARA ADAT PESTA PERKAWINAN, PANJUHUTI-NYA PINAHAN / SIGAGAT DUHUT.
a. Mengkawinkan anak laki – laki :
- Bila adatnya alap jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro
- Bila adatnya Taruhon Jual :
Osang utuh diparanak, untuk diberikan kepada hula-hula (Sijalo Tintin Marangkup), ihur-ihur (Upa Suhut) diparanak dan diberikan Ulak Tando Parboru,
Somba – somba dan soit dibagi dua dan parngingian (kiri) di Paranak :
(1). Somba – somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.
(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale-ale, Dongan Sahuta, dll.
(3). Parngingian / Parsanggulan untuk Boru / Bere.
(4). Ikan (dengke) dari Parboru untuk Hasuhuton.
b. Mengawinkan anak Perempuan :
- Bila adatnya Taruhon Jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro.
- Bila adatnya Taruhon Jual :
Osang Utuh di Parboru untuk diberikan ke Hula-hula dan Tulang Rorobot.
Ihur – ihur (Upa Suhut) di Parboru untuk Hasuhuton
Somba – somba dan Soit dibagi dua dan parngingian(kanan) di Parboru :
(1). Somba –somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.
(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale – ale, Dongan Sahuta, dll.
(3). Parsanggulan / Parngingian untuk Boru / Bere.
2. PARJAMBARAN DI ACARA KEMATIAN SARI / SAURMATUA, BOAN SIGAGAT DUHUT (Contoh) :
Ulaon : Borsak Simonggur.
Hasuhuton : Hutagurgur.
Bona ni Hasuhutin : Tuan Hinalang.
Suhut Bolon : Datu Parulas.
A. DONGASABUTUHA
1. Panambuli : Anggi Doli Hariara.
2. Pangalapa / Pamultak : Raung Nabolon.
3. Panambak / Sasap : Dongan Tobu.
4. Ihur – ihur / Upa Suhut : Datu Parulas.
5. Uluna / Sipitudai : Jambar Raja (Parsadaan dan Punguan)
Orang biasanya diberikan ke Protokol dan Sitoho-toho.
6. Ungkapan : Haha Doli Suhut Bolon.
7. Gonting : Anggi Doli Suhut Bolon.
B. BORU / BERE / IBEBERE
1 . Tanggalan Rungkung Partogi : Boru ni Prsadaan.
2. Tanggalan Rungkung Mangihut : Boru ni Punguan.
3. Tanggalan Rungkung Bona – bona : Boru Diampuan/Bere – Ibebere.
C. HULA – HULA
1. Tulan Bona : Pangalapan Boru/Hula-hula Tangkas.
2. Tulan Tombuk : Namamupus/Tulang.
3. Somba – somba Siranga : Tulang Rorobot, Bona Tulang, Bona Hula.
Somba – somba Nagok :Bona na ari.
4. Tulan :P arsiat (Hula-hula, Haha Anggi, & Anak Manjae)
D. DONGAN SAHUTA / RAJA NARO.
1. Botohon : Sipukkha Huta/Dongan Sahuta.
2. Ronsangan : Pemerintah setempat.
3. Soit Nagodang : Paariban, Ale-ale, Pangula ni Huria, Partungkoan.
4. Bonian Tondi : Pangalualuan ni Nipi (teman curhat).
5. Sitoho-toho : Surung-surung ni namanggohi adat (orang yang sering
datang).
6. Pohu : Penggenapi isi tandok Hula-hula
7. Sohe/Tanggo : Penggenapi jambar yang belum dapat, dan lain-lain.
3. PENJELASAN BENTUK DAN LETAK PARJAMBARAN
A. NAMARMIAK-MIAK (PINAHAN LOBU)
1. Osang-osang : rahang bawah
2. Parngingian : kepala bagian atas
3. Haliang : leher
4. Somba-somba : rusuk
5. Soit : persendian
6. Ihur-ihur/Upa Suhut : bagian belakang sampai ekor
Parjambaran Namarmiak – miak di Humbang
(Oleh : Ompu Natasya L. Toruan )

Na marmiak-miak
B. SIGAGAT DUHUT
1. Uluna/Sipitu dai : kepala atas dan bawah (tanduk
namarngingi dan osang)
2. Panamboli : potongan leher (sambolan)
3. Pangalapa/Pultahan : perut bagian bawah (tempat belah)
4. Panambak/Sasap : pangkal paha depan
5. Ungkapan : pangkal rusuk depan
6. Gonting : pinggul/punggul
7. Upa Suhut / Ihur-ihur : bagian belakang sampai ekor
8. Tanggalan Rungkung : leher (depan sampai dengan badan)
9. Tulan Bona : paha belakang
10. Tulan Tombuk : pangkal paha belakang
11. Somaba-somba Siranga : rusuk-rusuk besar
12. Somaba-somba Nagok : rusuk paling depan (gelapang)
13. Tulan : kaki di bawah dengkul
14. Botohon : paha depan
15. Ronsangan : tulang dada ( pertemuan rusuk)
16. Soit Nagodang : persendian
17. Bonian Tondi : pangkal rusuk iga
18. Sitoho-toho : sebagian dari osang bawah
19. Pohu : bagian-bagian kecil
20. Sohe/Tanggo-tanggo : cincangan
Parjambaran Sigagat Duhut di Humbang
( Oleh Drs. Togap L. Toruan)

Si gagat duhut
Pasal 4
MANGADATI
Mangadati adalah pelaksanaan ”menerima.membayar” adat perkawinan (marunjuk) yang telah menerima pemberkatan nikah sebelumnya, dimana kedua belah pihak orangtua sepakat, adatnya dilaksanakan kemudian dan atau kawin lari (mangalua) dimana acara ini dilaksanakan pihak pengantin laki-laki ( Paranak). Karena itu ”mangadati” tidak sama dan bukanlah manjalo sulang-sulang ni pohompu.
A. Tahapan yang harus dipenuhi sebelum Mangadati :
1. Pada acara partangiangan (pengucapan syukur) pemberkatan nikah, Paranak wajib mengantar ”Ihur-ihur” kepada pihak pengantin perempuan (Parboru) sebagai bukti bahwa putrinya telah di-paraja (dijadikan istri).
2. Pihak paranak melakukan acara manuruk-nuruk (suruk-suruk) meminta maaf dengan membawa makanan adat kepada pihak Parboru(hula-hula).
3. Pihak Paranak melakukan pemberitahuan rencana ”mangadati” kepada pihak Parboru, dengan membawa makan adat. Acara ini merancang (mangarangrangi) ”Somba ni uhum: (sinamot), ulos herbang, dan yang berkaitan dengan mangadati.
B. Acara ”mangadati” dilaksanakan di tempat pihak Paranak, sehinga pelaksanaan sama dengan pesta adat ”taruhon jual”, yakni pihak Parboru datang dalam rombongan membawa beras, ikan, dan ulos.
C. Parjambaran: ”Sidapotsolup do naro”

Pasal 5
MENDAMPINGI, MANGAMAI, MANGAIN
Pengertian umum adalah suatu proses untuk perkawinan campuran antara anaka / boru dengan anak/boru suku/bangsa lain (Marga Sileban), dimana pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan adat Batak. Penerapannya dilakukan sesuai tahapan dan aturan masing-masing sebagai berikut :
MENDAMPINGI. Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak, Marga Sileban cukup meminta kepada satu keluarga Sihombing yang mau mendampingi dengan fungsi sebagai wakil/juru bicara/Raja parhata, dengan demikian :
1. Mendampingi Parboru, Sijalo Sinabot harus Marga Sileban, yang mendampingi hanya menerima uang kehormatan saja.
2. Mendampingi Paranak, Sijalo Ulos Suhi ni Ampang Naopat harus keluarga suku lain (Marga Sileban), yang mendampingi hanya menerima Ulos Pargomgom.
3. Yang mendampingi tidak boleh melakukan Tonggo / Ria Raja dan Papungu Tumpak.
MANGAMAI . Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan na marmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangamai dihadapan Dongan Tubu, Boru/Bere, Dongan Sahuta.
Dengan restu hadirin, yang Mangamai mangupa dengan menyatakan kesediaan untuk melaksanakan tahapan adat perkawinan yang dimaksud pihak Marga Sileban, kemudian Marga Sileban memberikan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua hadirin. Sehingga yang diamai dengan yang Mengamai sudah menjadi Dongan Sahundulan yang sifatnya permanen.
Dalam hal Mangamai Paranak, yang menerima ulos diatur sebagai berikut :
Ulos Pansamot : Orangtua kandung Marga Sileban.
Ulos Paramaan : Yang Mangamai.
Ulos Todoan : Marga Sileban atau keluaga yang Mengamai.
Ulos Sihunti Ampang : Boru yang Mengamau atau Marga Sileban.
Ulos seterusnya diatur pembagiannya sesuai dengan kesepakatan.
Tintin Marangkup tetap harus diberikan ke Tulang pengantin pria Marga Sileban.
Dalam hal Mangamai Parboru, yang menerima Sinamot/tuhor diatur sebagai berikut :
Sinamot nagok : Orangtua kandung Marga Sileban.
Paramai : yang Mengamai.
Todoan : Marga Sileban atau yang Mengamai.
Pariban : Boru yang Mengamai atau Boru Marga Sileban.
Upa Tulang harus diberikan kepada Tulang pengantin wanita Marga Sileban.
Panandaion/Sipalas roha diatur pembagiaanya sesuai kesepakatan.
MANGAIN. Marga Sileban yang berkehendak anaknya (wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak(pria) Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan namarmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangain dihadapan Dongan Tubu,Boru/bere, Hula-hula/Tulang, Dongan Sahuta.
Tahapan Pelaksanaan:
1. Marga Sileban atau pendampinganya menyerahkan tudu-tudu sipanganon.
2. Marga Sileban menyerahkan putrinya kepada yang Mangain.
3. Yang Mangain, marmeme dan manghopol dengan Ulos Mangain.
4. Hula – hula yang Mangain (Tulangna) memberikan ulos parompa.
5. Marsipanganon.
6. Hata Sigabe-gabe.
Yang Mangain akan menempatkan yang diain pada urutan anggota keluarga yang tidak mengubah Panggoran (buha baju) yang sudah ada. Selanjutnya, keluarga yang Mangain bertanggung jawab melaksanakan kewajiban adat Batak kepada yang diain. Pada acara perkawinan yang diain, yang menerima Sinamot Nagok dan Suhi ni Ampang Naopat adalah yang Mangain dan keluarga. Orangtua kandung marga Sileban menerima Sinamot(panandaion) sebagai penghargaan atau penghormatan.
Pada dasarnya kedudukan Anak atau Boru yang Didampingi, Diamai, Diain, tidak sama, dan tidak punya kaitan apapun dengan ”pewarisan”. Masing masing hanya terbatas pada proses adat yang dilakukan.
Pasal 6
MANGANGKAT /MANGADOPSI
Suatu proses seorang anak (pria atau wanita) masuk dalam keluarga menjadi anak/boru, baik karena belum mempunyai keturunan maupun karena suatu hal.
1. Meminta persetujuan Haha/Anggi dan Ito, serta Hulua-hula(sekandung).
2. Mengurus kelengkapan dari catatan sipil.
3. Mengurus babtisan dari gereja.
4. Melakukan pengukuhan secara adat dihadapan :
- Dongan Tubu
- Hula – hula dan Tulang
- Boru / Bere
- Dongan Sahuta
- Raja Bius (Parsadaan dan Punguan)
5. Untuk acara pengukuhan Boru (putri) oleh namarmiak-miak, tetapi untuk pengukuhan anak (putra) sebaiknya sigagat duhut, karena kehadirannya. Selain pewaris juga akan menjadi penerus keturunan.
Tahapan pelaksanaan :
1. Penjelasan tentang tata cara.
2. Pasahat tudu-tudu sipanganon
3. Hula-hula dan Tulang mangupa / marmeme dan memberi Ulos Parompa
4. Marsipanganon
5. Yang Mangangkat menyerahkan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua undangan (Upa Raja Natinonggo).
6. Pasahat Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada hadirin.
7. Hata Sigabe-gabe.
Pasal 7
ULOS HERBANG
Ulaos Herbang untuk diberikan ke pihak Paranak pada acara perkawinan Boru Sihombing banyaknya 17 (tujuh belas) lembar, bila ada tambahan/titilan Paranak, tidak boleh lebih dari yang disediakan Sihombing dan Ulos Herbang yang akan diterima pada acara perkawinan anak (putra) Sihombing Banyaknya tidak dibatasi. Dalam menentukan banyaknya Ulos Herbang, hendaknya tetap memperhitungkan waktu penyerahan.
Pasal 8
CATATAN/PERHATIAN
1. Pada setiap acara adat pesta perkawinan dan kematian yang berhak menerima dan memberikan adat aníllala anggota yang sudah diadati (beradat).
2. Pada kejadian dukacita (mate) di mana statusnya Sarimatua atau Saurmatua, bila bonannya Sigagat Duhut, tidak boleh lagi dijalankan teken tes.
3. Acara Patua Hata dan Pargusipon, dapat dilaksanakan oleh tingkat Suhu Ompu, tetapi Acara Tonggo Raja/Rai Raja harus sampai tingkat Borsak Sirumonggur.
4. Pesta adat (unjuk) yang oleh karena keterbatasan, hendaknya tetap ulaon Borsak Sirumonggur, karena hanya menambah lebih 5 (lima) undangan. Misalnya mengundang paling sedikit seorang dari masing-masing : Haha Doli Hutagurgur, Anggi Doli Hariara, Raja parhata, Pengurus Parsadaan Borsak Sirumonggur.
Pasal 9
PENUTUP
1. Patokan dan aturan adat ini dalam penerapannya tidak boleh menjadi beban pikiran dan menimbulkan kerugian Suhut Bolon.
2. Hal-hal yang berjalan di luar Patokan dan Aturan adat ini,harus dicatat menjadi dokumen Pengurus Pusat dan dilaporkan tertulis ke Dewan Pembina.
3. Patokan dan Aturan adat yang Belum tertuang, akan ditetapkan oleh Pengurus Pusat, setelah disetujui oleh Dewan Pembina.
Disempurnakan
Dan ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 23 September 2002
DEWAN PEMBINA
BORSAK SIRUMONGGUR
JAKARTA & SEKITARNYA
Ketua Sekretaris
TTD TTD
St. Drs. Togap Lumbantoruan Drs. Ronald Marudin Sihombing
Disalin sesuai dengan aslinya, 12 Juni 2005
Sekretaris Jenderal Parsadaan Borsak Sirumonggur
P.L. Toruan

Selasa, 24 April 2012

PROFILE DERA

- Non Dera Anggia Putri Prawitasari atau lebih akrab disapa Dera adalah salah satu finalis perempuan yang cukup bergaya santai dengan style agak tomboi. Dengan suara Vibranya, ia mampu mencuri perhatian para dewan juri Tripple A ; Agnes Monica, Ahmad Dani dan Anang Hermasyah. Selain itu, dengan kemampuannya memainkan gitar, ia dapat memukau Dani pada saat BUS AUDITION sebelumnya.
Gadis kelahiran Cianjur ini juga mampu menyanyikan lagu-lagu sulit yang biasanya dinyanyikan oleh artis pria dengan suara Vibranya.
Berikut Profile Dera:
Nama Lengkap     : Non Dera Anggia Putri Prawitasari
Nama panggilan   : Dera
Tempat tgl lahir   : Cianjur, 02 Desember 1993
Twitter Dera        : @dherasiagian

PROFIL YODA IDOL

Prattyoda Bhayangkara atau akrab disapa Yoda adalah yang paling menyita perhatian bukan saja dewan juri Tripple A (Agnes Monica, Ahmad Dhani dan Anang Hermansyah), tetapi juga masyarakat pecinta Indonesian Idol yang terus menerus mendukung Yoda untuk terus maju sebagai Finalis Indonesian Idol 2012.
Sejak awal, Yoda sudah memikat hati juri sampai-sampai Ahmad Dhani langsung menyatakan YA saat babak audisi sebelum Yoda mengeluarkan suaranya yang sangat Nge-ROCK banget. 
Berikut profilnya:
Nama Lengkap    : Prattyoda Bhayangkara
Nama panggilan   : Yoda
Tempat tgl lahir   : Kebumen, 09 Februari 1987
Twitter               : @YODANGERS
Yoda Idol adalah finalis Indonesian Idol 2012 yang sangat unik dikarenakan gaya rambutnya yang gimbal abis dan suaranya yang sangat khas. Selain itu kemampuan untuk memainkan alat musik juga patut diacungi jempol.